CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Senin, 11 Januari 2010

Dan Allah pun merasa kagum

"Aku beristighfar mohon ampun kepada Allah selama tiga puluh tahun karena mengatakan Alhamdulillâh," ujar al-Imam al-Syibli rahimahullâhu Ta'ala pada suatu hari kepada muridnya." Bukankah ucapan Alhamdulillâh adalah pujian dan syukur terhadap Allah, mengapa mesti beristighfar karenanya?" Tanya muridnya heran." Karena aku mengucapkannya dengan perasaan yang salah." Jawab al-Syibli.

Maka al-Syibli pun mulai bercerita," Tiga puluh tahun lalu aku adalah seorang pedagang kain di pasar kota Baghdad ini. Suatu hari terjadi kebakaran hebat di kota Baghdad. Merasa cemas dengan keselamatan daganganku, aku bergegas menuju pasar. Api pun telah membakar di mana-mana. Seluruh toko di pasar itu hangus terbakar, kecuali tokoku sendiri. Melihat tokoku tidak terbakar api, spontan aku mengatakan Alhamdulillâh... Alhamdulillâh! Tetapi sesaat kemudian aku menyesali ucapanku, karena Alhamdulillâh yang aku katakan adalah ungkapan kegembiraan melihat tokoku selamat tetapi tidak peduli dengan toko lain yang hangus dimakan api. Setiap mengenang kejadian itu aku beristighfar mohon ampun kepada Allah."


Itulah Imam al-Syibli yang beristighfar karena ucapan Alhamdulillâh yang lahir dari perasaan yang salah, yaitu merasa senang terhadap nikmat pribadi dan tidak peka terhadap orang lain yang sedang menderita. Meskipun kita tidak mengalami kejadian yang serupa, tetapi pesan yang sama datang kepada kita hamper setiap hari.

Terkadang jam sepuluh pagi ketika kita terperangkap macet di lampu merah, terlihat anak-anak berbaju lusuh berjualan koran. Melihat anak-anak yang tidak sekolah ini kita pun teringat anak-anak kita yang sedang bersekolah. Lantas kita berkata," Alhamdulillâh ya Allah, anak-anak saya dapat bersekolah. " Bila ucapan itu lahir dari rasa senang karena anak kita dapat bersekolah tanpa ada perasaan perih dan sedih melihat anak-anak lain yang tidak mampu bersekolah itu, maka kita haruslah beristighfar memohon ampun kepada Allah atas ketidakpedulian kita.

Melihat orang-orang yang tinggal di kolong jembatan, kita ingat rumah kita yang layak dan enak maka kita pun mengatakan Alhamdulillâh. Jika ucapan ini lahir dari rasa senang terhadap nikmat yang kita dapatkan tanpa ada rasa prihatin terhadap penderitaan orang yang tidak punya tempat tinggal itu, maka kita harus beristighfar memohon ampun kepada Allah atas tidak pekanya perasaan kita.

Melihat orang lain yang menderita kelaparan, kita ingat bahwa kita selalu mendapatkan makanan setiap hari, lantas kita mengatakan Alhamdulillâh. Jika ucapan Alhamdulillâh ini lahir karena rasa senang selalu mendapatkan makanan dan tidak prihatin terhadap orang lain yang sedang kelaparan maka kita harus beritighfar karena besarnya sifat egois kita.

Nabi saw bersabda," Tidaklah beriman seseorang sampai ia menyukai kebaikan bagi saudaranya seperti ia menyukai kebaikan untuk dirinya sendiri." (HR. al-Bukhari, Muslim, al-Nasai dan al-Tirmidzi dari Anas bin Malik ra)

Artinya: Jika kita senang perut kita kenyang maka jika ada orang lain yang kelaparan maka terasa perihlah hati kita dan kita pun rela berbagi makanan dengan mereka. Itu tandanya ada iman di hati kita.

Jika kita senang tubuh kita sehat, melihat orang lain yang sedang sakit terasa perihlah hati kita dan terdorong untuk meringankan penderitaan orang itu. Ini tandanya ada iman di hati kita.

Jika kita senang anak-anak kita bisa bersekolah, melihat anak-anak lain tidak bisa bersekolah terasa perihlah hati kita dan tergerak untuk menolong sekuat kemampuan kita. Itu tandanya ada iman di hati kita.

Bersabda Nabi saw," Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla berfirman di hari kiamat," Wahai anak Adam, dulu Aku sakit tetapi engkau tidak menjenguk-Ku."
Manusia bertanya," Tuhanku, bagaimana kami dapat menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan alam semesta?"
Tuhan menjawab," Tidak tahukah engkau bahwa si fulan sakit, tetapi engkau tidak menjenguknya? Tidak tahukah engkau jika engkau menjenguknya, engkau pasti dapati Aku ada di sisinya."
Tuhan berfirman lagi," Wahai anak Adam, dulu Aku minta makan kepada engkau tetapi engkau tidak memberi Aku makan."
Manusia bertanya," Tuhanku, bagaimanakah aku dapat memberi-Mu makan sedangkan Engkau adalah Tuhan alam semesta?"
Tuhan menjawab," Tidak tahukah engkau bahwa hamba-Ku si fulan meminta makan kepadamu dan engkau tidak memberinya makan? Tidak tahukah engkau bahwa jika engkau memberinya makan, engkau pasti dapati ganjarannya ada di sisi-Ku."
Tuhan befirman," Wahai anak Adam, dulu Aku minta minum kepadamu dan engkau tidak memberi-Ku minum."
Manusia bertanya," Tuhanku, bagaimanakah aku dapat memberi-Mu minum sedangkan Engkau adalah Tuhan alam semesta?"
Tuhan berfirman," Hamba-Ku fulan meminta minum padamu dan engkau tidak memberinya minum. Apakah engkau tidak tahu bahwa seandainya engkau berikan ia minum engkau pasti dapati ganjarannya ada di sisi-Ku."( HR. Muslim dari Abu Hurairah ra)

Allah swt bersama orang-orang yang menderita. Kepiluan hati mereka adalah kepiluan Tuhan. Rintihan mereka pada manusia adalah suara Tuhan. Tangan mereka yang menengadah adalah tangan Tuhan. Ketika seseorang memberikan derma kepada fakir miskin, sebelum sedekah sampai di tangan mereka tangan Tuhan lah yang pertama-tama menerimanya.

Ada seorang ulama yang setiap selesai memberikan sedekah kepada fakir miskin ia pun mencium tangannya sendiri. Ketika ditanyakan alasan perbuatannya itu ia pun mengatakan," Sebelum sedekah diterima fakir miskin, tangan Allah lah yang pertama-tama menerima sedekah itu. Aku mencium bekas tangan-Nya yang bersentuhan dengan tanganku yang bersedekah ini."

Dari Abu Hurairah ra: Seseorang mendatangi Rasulullah saw seraya berkata," Wahai Rasulullah, saya menderita kesempitan dan kelaparan." Lantas beliau membawa orang itu pada salah seorang istrinya. Istri beliau pun berkata," Demi yang mengutusmu dengan Kebenaran, saya tidak punya sesuatu selain air." Lalu beliau membawa orang itu kepada istrinya yang lain, ternyata istri beliau yang ini pun mengatakan seperti istri yang pertama. Sampai akhirnya seluruh istri yang dikunjungi mengatakan hal yang sama," Saya tidak punya makanan sedikit pun. Demi yang mengutusmu dengan Kebenaran, saya tidak punya selain air."
Maka Rasulullah saw berkata," Apakah ada seseorang yang mau menerima tamu di malam ini? semoga Allah merahmatinya."
Berdirilah seorang laki-laki dari kalangan kaum Anshar seraya berkata," Saya, Wahai Rasulullah." Kemudian ia pun pergi bersama tamu tersebut. Ketika sampai di rumah ia berkata pada istrinya," Apakah engkau punya makanan?"Istrinya menjawab," Aku tidak punya makanan selain makanan untuk anak-anakku." Suaminya berkata," Hiburkanlah anak-anak dengan sesuatu. Nanti jika tamu sudah masuk matikanlah lampu." Dalam riwayat lain disebutkan,"Perlihatkan kepadanya seolah-olah kita benar-benar hendak makan. Ketika tamu kita akan makan matikan lampu."
Mereka pun duduk bersama tamu dan tamu itu pun makan. Sementara suami dan istri itu tidak ikut makan. Ketika datang waktu pagi mereka (suami dan istri) menemui Nabi saw. Lantas bersabda beliau," Sungguh Allah kagum terhadap perbuatan kalian berdua pada tamu semalam." (HR.al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra)

Manusia sering kagum. Kagum terhadap kecantikan, kegantengan, suara, harta atau pangkat dan jabatan. Kita kagum pada hal-hal yang akan musnah oleh waktu. Berbeda dengan malaikat, mereka tidak kagum pada hal-hal yang bakal sirna. Malaikat kagum terhadap amal shalih manusia. Tetapi kadang kala amal shalih manusia yang dikagumi oleh malaikat itu justru tidak diterima Allah swt, karena Allah menatap ke dalam hati yang terdalam. Jika amal shalih tidak dilandasi keikhlasan maka amal itu tidak diterima oleh Allah swt. Malaikat tidak punya akses untuk menilai keikhlasan, karena itu kadang mereka terkecoh terhadap besarnya amal meski amal itu tidak ikhlas karena Allah.

Jadi kagumnya Allah terhadap sesuatu benar-benar peristiwa langka. Sahabat Anshar tadi telah membuat Allah kagum. Mengapa?

Mungkin jawabannya adalah: Allah adalah Dzat yang Maha Pemurah, Maha Dermawan dan Maha Kaya. Dia menyalurkan kasih sayang dan kedermawanan-Nya dengan memberi kepada mahluk-Nya sebagian karunia-Nya yang tak terbatas tanpa membuat Dia menjadi miskin atau berkurang kekayaan-Nya. Tetapi jika ada mahluk yang miskin dan serba kekurangan, namun karena besarnya kasih sayangnya pada sesama sanggup mengalahkan kepentingan diri sehingga rela memberi kepada orang lain padahal ia sendiri sangat membutuhkan, inilah yang membuat Dia Yang Maha Dermawan dan Maha Kaya menjadi kagum. Subhânallâh

diambl dari http://www.sedekah.net/

0 komentar: